Get This!Tutorial Blogger

Ads 468x60px

BUKU TAMU

Jumat, 23 November 2012

Cerpen

AKU DAN GURUKU
Oleh : Indho As

    Hari ini hari Kamis. Aku pergi ke sekolah tidak seperti hari-hari yang lainnya. Aku selalu berupaya semaksimal mungkin untuk hadir pagi-pagi sekali. Yah, karena hari Kamis aku bertugas untuk membersihkan kelas. Sebenarnya kami bertiga yang bertugas, tetapi teman-temanku Doni dan Ayu selalu datang terlambat. Namun aku memakluminya karena rumah mereka lebih jauh dari rumahku.
    Aku melihat jam dinding di sekolahku. Baru Jam 06.00. Bisik aku dalm hati. Aku cepat-cepat mengangkat kursi dan meletakan di atas meja agar lebih gampang dibersihkan . Sepanjang aku menyapu ruangan, hati dan pikiranku berdebat bagaikan debat kandidat.
    “Kenapa sih teman-temanku suka sekali menyobek-nyobek kertas dengan kecil-kecil lalu menghambur ke dalam ruangan. Padahal ada tempat sampah dan terpampang dengan jelas tulisan BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA. Apa mereka tidak malu dengan tulisan itu yang setiap hari mengintip mereka. Lagi pula setiap hari guru selalu mengingatkan untuk menjaga kebersihan.  Apa untungnya bagi mereka ya? Huh, dasar. Kapan baru mereka menyadari kalau hidup bersih itu sehat. Padahal sudah kelas IX lagi”.
    Tiba-tiba Doni dan Ayu pun datang.
    “Sory cantik, kami agak telat” kata Doni.
    “Bukan lagi agak, tapi emang telat” Ayu menimpali.
    “ Ya, sudah. Bantu aku menurunkan kursi-kursi ini!”
“Ok. Itu tugas saya, dan kamu Ayu, seperti biasa, jaga kebersihan ruangan kita sampai pulang sekolah!”

Bel apel pun berbunyi. Kami segera mengikuti apel pagi. Dalam arahan guru saat apel pagi itu, ternyata juga membahas tentang kebersihan sekolah. Pikiranku kembali melayang mengingat hasil kerjaku dan kebiasaanku selama ini. Aku sedikit bangga dan bersyukur telah menyelesaikan tugasku.
“Aisyah, Tolong ke depan dulu!”
Aku kaget tiba-tiba ibu guru memanggil namaku. Jantungku berdetak tak karuan. Antara bingung dan rasa malu-malu, entah kesalahan apa yang aku perbuat sehingga aku dipanggil untuk ke depan barisan. Aku masih terpaku, serba salah tingkah dan agak berat untuk melangkahkan kaki.
    “Aisyah, ayo Nak, ke depan!”
Kembali Ibu Guru itu memanggilku. Hatiku luluh. Aku seperti disanjung dan dihargai dengan panggilan itu. Seperti panggilan seorang ibu terhadap anaknya. Aku pun melangkah dengan pelan ke depan.
    “Tolong perhatikan semuanya!” kata Ibu Guru setelah aku ada di sampingnya.
“Kalian” lanjutnya “perlu mencontoh Aisyah. Ia ke sekolah pagi-pagi menyelesaikan semua tugasnya. Aku sudah keliling mengamati ruang kelas kalian sejak tadi, dan Aisyalah orang yang pertama selesaai membersihkan ruangan kelasnya. Ini bukan hanya hari ini, melainkan sudah kebiasaanya sejak kelas VII dulu. Mari kita berikan tepuk tangan untuk Aisyah!”
Teman-temanku pun serentak bertepuk tangan. Membuat aku semakin tersanjung. Aku tak pernah menyangka kalau ternyata Ibu Guru mengamati aku selama ini.  Aku tidak pernah membayangkan kalau hari ini aku mendapat penghargaan yang luar biasa bagiku, walaupun itu sekedar pujian.
    Bel jam pertama pun dimulai. Pak Dirhan mulai menuju kelasku. Kami semua cepat-cepat duduk. Siapa yang tidak mengenal Pak Dirhan. Orangnya keras, didukung dengan suaranya yang keras. Setiap ia masuk ruangan, seorang pun tak ada yang berani bertingkah. Jagankan kita berbisik pada teman, menoleh sedikit saja penghapus langsung melayang di wajah. Banyaak teman-temanku yang bilang, kalau melihat Pak Dirhan seperti melihat Malaikat Pencabut Nyawa. Kalau beliau menceritakan sesuatu yang lucu, kami hanya pura-pura tersenyum, menmpakkan barisan gigi-gigi kami, padahal kami sebenarnya tidak terhibur karena lebih besar rasa takut kami dari pada rasa senangnya.
    “ Siapa yang bertugas hari ini?” Tanya Pak Dirhan dengan tegas sebelum beliau duduk di kursinya. Kami bertiga saling memandang dan pelan-pelan mengacungkan tangaan. Sulit kiranya menebak teka-teki yang akan diberikan oleh Pak Dirhan. Apakah penghargaan yang sama seperti yang telah diberikan oleh Ibu Rosdiah, ataukah sebaliknya, kejelekan atau sanksi yang akan diberikan.

    “Kalian bertiga ke depan kelas”  suruh Pak Dirhan dengan sedikit galak.
    “Lihat baik-baik” lanjutnya setelah kami bertiga menghampiri meja guru.
“Kalian simpan di mana mata kalian hingga kotoran cicak yang sangat jelas terlihat ini masih ada di atas meja saya. Apakah kalian sudah buta, atau sengaja menjebak saya dengan kotoran cicak ini?”
“Maaf , Pak, kami sudah berusaha membersihkan dengan baik, dan kotoran ini tadi tidak ada. Mungkin ini baru saja jatuh setelah kita masuk tadi, Pak.” Kataku berusaha membela diri.
“Hah,” sambil mendorong kepalaku “kalau berdalih, yang logis dong. Kalau ini baru, tentu cicaknya masih ada di sekitar sini. Sekarang lihat, tidak ada kan? Bodoh!”
“Tapi Pak,…” Doni berusaha membenarkan perkataan Aisyah, tetapi Pak Dirhan langsung memotong.
“Sudah, sudah. Saya tidak mau tahu, sekarang juga jilat kotoran cicak ini!”
“Hah…” Serentak semua siswa di ruangan kelasku berteriak histeris. Kami ingin membantah, tetapi tak berdaya. Semua diselimuti rasa takut yang mendalam.
Ayu ingin memprotes, “Pak, apa tidak ada…”
“Diam, lakukan saja apa yang saya perintahkan!”
Kami bertiga saling memandang dan berbisik siapa yang akan menjilat duluan.
    “Aku saja yang yang jilat, aku kan laki-laki.” Bisik Doni di tengah ketegangan.
“ Jangan, aku saja. Ini tugasku selama ini yang menjaga kebersihan kelas sejak pagi hingga selesai pelajaran.”
“Jangan” Aku kemudian menarik kedua temanku. “ Aku saja. Aku sudah biasa hidup dengan kotoran-kotoran seperti ini. Ini adalah hal yang kecil dalam hidupku.”
“Cepat, jangan Cuma bisik-bisik!” hardik Pak Dirhan.
Aku pun pelan-pelan menuju meja Pak Guru. Tangan kananku menutup kedua lubang  hidungku. Wajahku merah padam bercampur malu.  Keringatku mulai membasahi sekujur tubuhku. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku ingin menumpahkan segera, tetapi masih berusaha memendam dan menahan, seperti menahan bendungan air sungai yang akan mengalir. Aku teringat beberapa menit yang lalu. Di mana aku disanjung oleh ibu guru di depan teman-teman karena kerajinanku. Kini aku disaksikan oleh teman- temanku pula untuk melakukan sesuatu yang sangat menjijikan dan memalukan.
“Ya, Allah, Mama, Papa, entah dosa apa yang aku lakukan hingga semua ini terjadi” tak sadar bibirku bergumam sambil meneteskan air mata.
Wajahku semakin dekat dengan kotoran itu. Teman sekelasku mulai mereaksi. Ada yang menutup mata, ada yang ikut menutup hidungnya, dan ada juga yang menahan kerongkongannya seakan ingin muntah.
Mulutku tinggal beberapa centi lagi dengan kotoran itu. Bau busuk kotoran cicak itu mulai menyentuh hidungku. Padahal aku sudah menutup dengan rapat. Dan tinggal aku menjulurkan lidahku, maka selesai sudah kotoran tersebut.
“Ya, Allah, sebelum aku menjilat kotoran ini, izinkanlah aku menyebut namamu yang maha pengasih dan Maha Penyayang. Ya Rahman, Ya Rahim”
Dengan penuh air mata, aku berusaha sekuat jiwaku untuk benar-benar menjilat kotoran tersebut.
“Cukup, Cukup, Aisyah” tiba-tiba Pak Dirhan berteriak. “Sudah, jangan lakukan itu. Maafkan aku    jika terlalu kasar dan berlebihan. Aku sadar, ini tidaklah manusiawi. Astagfirullah, Astagfirullah, Astagfirullah, Ya Allah, kenapa aku perlakukan seperti ini anak-anakku”
Ia pun tiba-tiba meneteskan air mata. Ternyata dibalik jiwanya yang keras, Allah masih memberikan setitik kelembutan. Aku lalu melepaskan tangisan yang sejak tadi aku berusaha menahan. Dan secepatnya aku merebut tangan Pak Dirhan untuk meminta maaf. Teman-teman sekelasku pun ikut menangis.
“Terima kasih, Nak. Engkau telah memberikan pelajaran berharga padaku hari ini. Kalau ternyata aku tak pantas menjadi seorang pendidik.”
    “Kami juga minta maaf Pak, Ini… “ sambil terisak-isak.
“ Sudah, aku mengerti, Ayu, cepat ambil kertas dan lap kotoran ini. Dan Doni, ambil air untuk dicuci. Sekali lagi, maafkan aku”
    Sejak hari itu, Pak Dirhan tidak pernah lagi berkata kasar pada siswanya. Kami pun mulai tertarik mengikuti pelajaran yang dibawakan.

     
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

 

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA